Sudah hampir delapan bulan saya tidak nulis di blog ini,
semenjak saya pindah ke Pontianak sulit tumbuh niat untuk nambah posting di
kbbostrike.blogspot.com. Blog bebas tanpa konsep mau ngomong apa deh, dan
beberapa upload gambar yang sudah mulai hilang.
Ada Baiknya kita membahas tentang kota yang sudah 8 bulan
saya tempati ini, Pontianak. Untuk kepentingan pekerjaan saya hijrah ke
Pontianak. Awalnya serasa berat meninggalkan Jakarta, tempat tinggal saya
selama empat tahun. Perlu diketahui, saya sedih meninggalkan Jakarta. Seburuk
gimana Jakarta tapi tetap memberikan kenangan, terutama ketersediaan berbagai
macam kebutuhan disana.
Pontianak, Ibu Kota Provinsi Kalimantan Barat, jangan pernah
membayangkan atau dibanding –bandingkan dengan kota kota di jawa! Kalimat
perintah saya tadi semoga berputar terus
dipikiran pembaca. Kali ini saya bahas tentang lalu lintas di Kota Pontianak.
Kotanya tidak terlalu besar, akses jalannya bias dibilang
minim untuk memenuhi jumlah penmakai jalan raya di kota ini. Pemkot juga tidak
mendukung dengan ketersediaan angkutan umum. Saat pertama saya samapi di
Pontianak, temen kantor saya langsung bilang “harus punya kendaraan sendiri”. Yak
betul sekali. Mulai dari sector paling penting buat pendatang, Bandara Supadio.
Dari bandara menuju kota hanya ada taxi. Kebanyakan taxi di Pontianak bukan
sedan kaya di jawa, melainkan mobil kancil, Daihatsu Cherry kalau tidak salah.
Tarifnya tinggi tidak dibarengi kenyamanan menggunakannya.
Ketersediaan jalan, teransportasi umum, dan yang terakhir
dang yang paling merusak adalah etika masyarakat berlalulintas di jalan. Perlu di
ketahui pengendara motor di Pontianak (termasuk sebagian pengendara mobil)
bahwa di jalan raya itu ada aturan hukum dan etika yang musti di junjung
tinggi, tidak cukup setinggi Tugu Khatulistiwa atau bahkan setinggi tanaman
lidah buaya. Saya yakin lebih dari 90% pendatang merasakan ketidaknyamanan lalu
lintas di Kota Pontianak.
Pelanggaran-pelanggaran apa yang sering dilakukan, berikut
saya jelaskan satu persatu. Pertama, tidak berhenti di lampu merah. Tindakan
ini bahkan dilakukan di perempatan jalan raya yang merupakan perempatan besar
atau terbesar di kota. Saya yakin mereka tidak buta warna, saya yakin mereka
sadar itu merah, merah artinya berhenti, atau mereka punya hukum adat sendiri
menyikapi warna merah. Bapak-bapak, ibu-ibu, abang-abang, mbak-mbak, adek-adek,
ibu-ibu boncengin balita, abang-abang boncengi cewek pake hot pants, berbagai
macam bentuk pelaku lalu lintas melakukannya, menerobos lampu merah. Pernah
suatu saat saya hanya seorang diri motor yang berhenti di lampu merah da nada beberapa
mobil yang berhenti. Motor-motor yang lain main tabrak lampu merah, begitu juga
dengan sebagian mobil. Rasanya saya harus pasang muka snob untuk acuh atas
kendaran kendaraan yang berada di jalur saya dan tetep jalan ketika lampu
merah. Fvckyou lil cunts, im stop anyway.
Kedua. Mengabaikan marka jalan. Tidak semuanya melanggar
lampu merah, adakalanya beberapa berhenti saat lampu merah. Senang rasanya ada
yang satu konsep dengan saya tentang warna merah. Tapi tidak serta merta sama
konsep, masih aja mereka berhenti di luar batas marka jalan. Di lampu merah
terlihat berantakan sekali, seperti ingus yang baru dihempaskan ketanah. Sering
saya berimajinasi, tiba tiba ada truk kontener lepas kendali lali menghempas
orang yang berhenti didepan marka lampu merah. Sedangkan dibelakang marka
selamat. Mereka yang berhenti di depan marka sah hukumnya untuk ditabrak.
Betapa jahatnya saya menyikapi ketidakteraturan.
Ketiga, tidak memebrikan kesempatan orang menyebrang jalan. Bila
anda hendak menyebrang, tidak peduli membawa kendaraan atau jalan kaki, saya
yakin anda akan menemukan kesulitan berarti. Orang tidak mau ngalah, bahkan
ketika hamper berhasil menyebrangi jalan pun lawan jalan kita sungkan berhenti
atau mengurangi kecepatan, kebanyakan malah menambah kecepatan. Intinya tidak
mau mengalah. Pelakunya tidak hanya abang-abang berwajah seram, melainkan semua
tipe manusia dalan berbagai lapisan
masyarakat. Pernaha ada teman saya (pendatang) habis dari masjid hendak
menyebrang, konsisinya sama, kesempatan sulit. Ketika dia merangsek ada motor yang
dikendarai mbak mbak (biasanya mbak mbak naik motor pakai celana
legging/hotpants, kaos ketat motif kembang/kemeja tanpa lengan yang tipis,
helmnya terleihat kebesaran, pakai wedges, main hape sambil naik motor). Si mbak
tadi teriak “Abang ini nyari mati!”. Antiketeraturan dan penilaian benar-salah
telah berubah, saya sedih.
Pernah saya renungkan mengapa banyak masyarakat melakukan ketidakteraturan dalam berlalulintas,
saya berpendapat bahwa mereka melakukan ini karena aroganisme. Aroganisme macam
apa? Aroganisme bahwa mereka 100% yakin bisa membawa dirinya selamat dengan
sikap apapun yang dia lakukan di jalan. Tapi maslahnya bukan disitu, maslahnya
adalah orang lain terganggu dan terancam dengan sikap arogan di jalan
raya.
Mungkin akan banyak yang bertanya “jadi kondisinya kaya
lalulintas di Jakarta?”, akan saya jawab “Tidak”. Pengendara motor di Jakarta melakukan
pelanggaran hukum dan etika lalu lintas karena terlalu padat dan habis ruang
gerak mereka. Saya yakin mereka sadar dan tahu mereka seharusnya tidak
melanggar kalau masih ada ruang. Tapi saya tida menganggap mereka benar. Di Pontianak
berbeda, ruang gerak masih luas. Kemacetan hanya di titik tertentu dan jam
tertentu, tidak banyak.
Polisi lalulintas sesekali mengatur lalu lintas, sebagian
orang takut karena keberadaan polantas, sebagian lagi masa bodoh. Ketika murni
tidak terlihat polantas, disitulah sikap paling alamiah dari lalulintas
Pontianak.
Dari lubuk hati tulisan ini saya buat bukan untuk menrendahkan suatu atau beberapa pihak, tulus dari hati terdalam saya ini tercipta keteraturan di Kota Pontianak.
(ilustrasi menyusul)
Dari lubuk hati tulisan ini saya buat bukan untuk menrendahkan suatu atau beberapa pihak, tulus dari hati terdalam saya ini tercipta keteraturan di Kota Pontianak.
(ilustrasi menyusul)